Zelletin : Sisi Lain Libya



Libya yang terletak di Benua Afrika merupakan salah satu negara yang menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa resminya. Negara berbentuk sosialis ini juga terkenal dengan sebutan negara hijau karena memiliki bendera berwarna hijau dan kitab undang-undang berjudul " Green Book". Libya yang sebenarnya termasuk negara kaya Afrika tidak seperti layaknya negara-negara kaya lain, pembangunan di Libya seperti baru akan dimulai, kekayaan alam seperti baru akan dieksploitasi, dan administrasi yang lain seperti baru akan menuju profesionalisme. Maklum negeri ini baru beberapa tahun bebas dari boikot Amerika.

Meskipun demikian, pengaruh kuat dari budaya asing justru terlihat menonjol di Libya, terutama di Ibukota Libya Tripoli dan beberapa kota besar lainnya. Hal ini bisa kita lihat dari cara berpakain, perangai dari penduduk, maupun arsitektur dari beberapa bangunan modern. Jadi tidak heran kalau ada yang mengatakan bahwa hidup di Tripoli seperti berada di tengah-tengah salah satu negara di Eropa dan justru tidak terkesan sebagai salah satu negara Arab.

Adalah Zelletin salah satu kota di pesisir Libya yang jauh dari kesan-kesan di atas. Terletak sekitar 150 kilometer sebelah timur Tripoli, Zelletin memberi warna tersendiri bagi negara Libya. Kota yang terkenal dengan produksi "semen"nya ini memberi kesan Timur Tengah di benua Afrika. Para penduduk Zelletin lebih suka memakai pakaian-pakaian Arab daripada model-model pakaian dari barat. Jadi tidak heran kalau anda menemukan suasana Arab di pasar, toko, kantor, gedung kuliah, atau bahkan di pantai. Begitu juga dari segi arsitektur bangunan, bisa kita lihat dari simbol kota Zelletin yang terletak di jantung kota benar-benar menggambarkan jati diri dari kota ini.
Ada hal yang lebih penting dari sekedar itu semua yang bisa kita dapatkan di Zelletin. Yaitu banyaknya zawiyah atau ma'had tahfidzul Qur'an. Dari keterangan yang penulis dapat, setiap qoryah di Zelletin terdapat sedikitnya dua zawiyah tempat anak-anak belajar alQuran. Masing-masing zawiyah mempunyai murid yang bervariasi, ada yang 40, 100, sampai 400 murid. Yang paling terkenal dan juga berfungsi sebagai pusat dari segala zawiyah di Zelletin adalah zawiyah Al Asmariyah. Pondok pesantren di jantung kota Zelletin ini mempunyai murid tak kurang dari 500 orang, baik yang memilih tiggal di asrama maupun yang pergi-pulang. Sebuah jumlah yang fantastis mengingat Zelletin masih terhitung sebagai kota kecil di Libya. Dari pondok-pondok inilah muncul ulama-ulama tersohor Libya.
Orang-orang sering menyebut juga kota ini dengan kota wali, karena disinilah dimakamkan "auliya' sab'ah" ( Tujuh Wali) penyebar Islam ke pelosok-pelosok Libya dan juga nenek moyang penduduk Zelletin. Di daerah tempat para wali ini dimakamkan juga ada zawiyyah yang cukup tersohor bernama " Zawiyah Sab'ah".

Selama dua bulan kami menjelajahi kota ini, sedikit menjauh dari kebisingan kota besar dan mencoba untuk lebih bisa berbaur dengan masayrakat Libya. Maklum kampus tempat kami belajar terlalu terisolasi dari dunia luar. Dalam waktu yang lumayan longgar itu kami sempat menangkap hal-hal aneh dari budaya maupun adat istiadat setempat. Aneh karena hal-hal seperti ini jarang sekali kita temukan di Indonesia. Diantara hal luar biasa yang kami temukan adalah kebiasaan penduduk setempat menikahkan anak-anaknya secara massal.
Suatu saat kami mendapat undangan dari warga setempat untuk menghadiri walimatul ursy setelah selesai shalat Jum'at. Begitu sampai di tempat acara, layaknya kebiasaan Indonesia, kami ingin memberi ucapan selamat kepada penganten. Karena penganten tidak diberi riasan atau make up khusus, kamipun memberanikan diri bertanya yang mana pengantennya. Betapa kagetnya kami ketika tahu bahwa pengantennya ternyata tiga orang yang semuanya adalah saudara. SubhanAllah, benar-benar sesuatu yang aneh mengingat kami pernah mendengar bahwa nikah di Libya sangatlah mahal, apalagi kalau nikahnya bertiga, bersaudara lagi. Dan ternyata setelah penulis cari tahu, hal seperti ini merupakan adat istiadat setempat, termasuk mengadakan walimatul ursy selama 3 hari berturut-turut.

Bulan suci di kota santri.
Waktupun mengantar kami memasuki bulan suci Ramadhan. Dengan ijin Allah SWT penulis menghabiskan bulan Ramadhan di kota ini. Penulis lebih memilih tinggal di zawiyyah Al Asmariyah, yang seperti kami sebutkan tadi, merupakan zawiyyah terbesar dengan sistem pengajaran mirip pondok-pondok pesantren Indonesia. Zawiyyah yang didirikan oleh Sayyid Abdus Salam Al Asmar ini menggabungkan antara metode pesantren klasik dan modern. Mengenai pendiri zawiyah ini sendiri, kami tidak mendapatkan info yang lengkap. Ada yang mengatakan beliaulah yang sering disebut-sebut di kitab-kitab klasik, yaitu seorang murid yang oleh gurunya disuruh menyembelih burung tanpa diketahui oleh siapapun, kemudian membawa burung itu kepada gurunya lagi karena tidak mendapatkan suatu tempatpun yang luput dari pengawasan Allah SWT. Ada juga yang menceritakan bahwa beliaulah yang ketika berdzikir pohon-pohon kurma ikut bergerak mengikuti irama dzikir beliau. Wallahu A'lam !. Yang jelas beliau adalah orang sholeh yang amal baiknya masih bisa kita rasakan sampai sekarang, Allah yubarik fih. Beliau pulalah penyebar tarekat sufi ke Libya, yang populer diantara tarekat-tarekat yang ada adalah Isawiyah, dinisbatkan kepada Syekh besarnya yaitu Sayyid Muhammad bin Isa.

Sebenarnya pondok ini masih kalah tua ( kuno) dengan zawiyyah "Sab'ah" yang didirikan oleh kakek dari Sayyid Abdus Salam, namun karena pengelolaan dari " Lajnah Waqaf" yang profesional, "pondok al Qur'an" inipun lebih terkenal dan lebih banyak didatangi santri. Metode menghafal di zawiyyah ini sedikit berbeda dengan kebanyakan pondok pesantren al Qur'an di Indonesia. Setiap santri di zawiyah ini wajib menulis apa yang akan dia hafal di lauhah ( semacam papan) sebelum memulai menghafal. Cara menulis pun tidak boleh langsung melihat mushhaf. Mereka percaya bahwa ketergantungan dengan mushhaf akan memperlemah hafalan. Mereka menulis setelah didikte oleh Syekh tertentu, setelah itu baru kemudian boleh dihafal apabila tulisan sudah sesuai dengan mushhaf. Riwayat yang populer di zawiyah ini dan mungkin di seluruh zawiyah Libya adalah riwayat Imam Qolun dari Imam Nafi'. Berbeda dengan kebanyakan muslimin Indonesia yang terbiasa membaca qur'an dengan riwayat Imam Hafs dari 'Ashim. Namun bagi kami warga asing di pondok ini dipersilahkan untuk membaca sesuai dengan apa yang pernah kami pelajari. Tentu saja dengan Syekh tertentu yang mengerti macam-macam periwayatan Al Qur'an.
Seiring dengan perkembangan jaman, pondok inipun berkembang. Dari yang semula hanya pondok qur'an saja kemudian berkembang menjadi majlis dzikir, muncul pula sekolah formal yaitu tsanawiyah, hingga melahirkan sebuah universitas yang cukup ternama di Libya. Dan sekarang Al Asmariyah lebih seperti sebuah yayasan yang memiliki beberapa cabang lembaga.
Ramadahan di Zawiyyah diawali dengan musabaqoh hadits nabawi dan MTQ. Lomba yang mengundang seluruh zawiyyah di Libya ini menghabiskan dana yang luar biasa. Bayangkan masing-masing juara I dari lomba tadi mendapat hadiah Umroh plus Iqomah di Saudi , juara II mendapat kesempatan Umroh tanpa Iqomah, sedangkan juara III memperolah satu set komputer. Dan perlu dicatat bahwa masing-masing tingkat prestasi belum tentu dimenangkan satu orang, kalau semuanya mendapat mumtaz maka semua berhak mendapat hadiah. Jadi tidak heran kalo juara satu dimenangkan oleh tiga orang dan seterusnya. Masih ditambah dengan penghormatan untuk juri berupa umroh+iqomah juga di Saudi. Dan patut dicatat ! perlombaan ini diselenggarakan oleh sebuah Zawiyyah al Qur'an dan bukan dari hukumah ( pemerintah ).

Di bulan Ramadhan lalu lintas Zelletin antara maghrib sampai Isya' relatif sepi, begitu juga dari ba'da Subuh sampai jam 10. Para penduduk tidak terbiasa dengan buka di warung-warung makan atau restoran, mereka lebih suka memilih buka bersama keluarga di rumah, atau buka bersama para tetangga di masjid. Sering juga penulis diundang buka di rumah para jamaah. Mereka tampaknya merasa senang bisa menjamu orang lain dan sekaligus media silaturahmi lintas negara. Dalam pelaksanaan ifthor-pun suasana keakraban menjadi begitu terasa. Bisa dilihat dari cara mereka membagi makanan, mereka tidak memakai piring untuk satu porsi makan tetapi menggunakan mangkok besar dan makan dengan itu secara bersama-sama. hal ini sama persis dengan acara bancakan yang sering kita temui di desa. Meskipun sebagian orang merasa risih makan dengan cara seperti itu, namun menurut penulis inilah salah satu simbol kebersamaan masyarakat. Meskipun mereka terbiasa hidup di rumah mewah dengan pagar tinggi, namun rasa kebersamaan masih mereka bangun.
Adapun pondok Asmariyah sendiri juga menyediakan ta'jil ( makanan pembuka) dan ifthor bagi seluruh santri, karyawan, pekerja bangunan, dan para tamu. Pondok ini juga menyediakan sumur umum lengkap dengan penyaringan air secara gratis bagi warga sekitar. Hal ini benar-benar membantu mengingat harga air di Libya-yang sebagian besar wilayahnya adalah padang pasir- masih lumayan mahal. Fungsi lain dari pondok ini adalah sebagai media penyalur zakat dan infaq. Siapapun yang kesulitan mencari para mustahiq zakat akan dibantu oleh lajnah waqaf dalam penyaluran zakat.

Secara umum kota Zelletin bisa dikatakan menampakkan wajah keislaman-nya selama bulan Ramadhan. hampir setiap masjid di seluruh pelosok Zelletin padat oleh jamaah sholat tarawih. Shalatnyapun rata-rata menghabiskan satu juz dalam delapan atau sepuluh rekaat. Salat Tahajjud di sepuluh malam terakhir juga tidak sepi jamaah. Ditambah lagi dengan ceramah-ceramah, kajian tafsir, hadits, maupun tadarus al Qur'an setiap selesai sholat lima waktu. Suasana kota santripun terbentuk dengan berbagai kegiatan tersebut.

0 Response to "Zelletin : Sisi Lain Libya"

Posting Komentar