Muslim Nasionalis; Urgensi dan Relevansinya dengan Ajaran Islam


Indonesia adalah negara yang majemuk. Majemuk di sini mengandung pengertian bahwa sebagai suatu bangsa, Indonesia memiliki berbagai macam suku berikut adat istiadatnya, menampung berbagai macam agama berikut ajaran-ajarannya, dan merupakan tempat berkembang bagi puluhan partai yang mempunyai visi dan misi yang berbeda.

Dengan kondisi plural seperti ini, ditambah dengan kondisi geografis Indonesia yang luas dan terpisahnya satu daerah dengan yang lainnya oleh hamparan laut, bangsa Indonesia jelas membutuhkan alat pemersatu. Komitmen untuk bersatu jelas merupakan harga mati bagi Indonesia. Adalah Sumpah Pemuda 1928 yang telah menelurkan beberapa alat pemersatu bangsa yang kesemuanya bermuara kepada satu kata : Nasionalisme!

Berbicara dalam kaca mata agama, Islam sendiri sebagai agama yang cinta dami dan menjunjung tinggi toleransi haruslah juga mempunyai peran yang signifikan dalam usaha menuju terciptanya iklim nasionalisme tersebut. Islam lewat tangan para pemudanya haruslah dapat mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme yang pernah dipraktekkan Rasulullah Saw semasa di Madinah. Apa yang penulis sampaikan dalam esai ini, tidak lain adalah upaya untuk menggugah rasa nasionalisme pemuda muslim demi mewujudkan usaha kita bersama menata bangsa Indonesia.



Pengertian Nasionalisme

Secara harfiah nasionalisme berasal dari bahasa Inggris yaitu nation yang berarti bangsa.

Sedangkan pengertian nasionalisme yang kita pahami dewasa ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Otto Bauar bahwa Nasionalisme adalah “suatu persatuan perangai atau karakter yang timbul karena perasaan senasib”. Secara umum nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu alat pemersatu yang membuat bangsa serta suatu negara lebih kuat serta solid dalam menghadapi tekanan dan penjajahan yang terjadi serta rongrongan untuk memecah belah negara tersebut. Nasionalisme juga diartikan sebagai satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.

Dalam istilah Ilmu Mantiq, sebuah pengertian (ta’rif) haruslah bisa jami’-mani’ (menghimpun-menolak). Artinya: “pengertian yang dipaparkan haruslah menghimpun segala hal yang ada di dalamnya dan menolak segala hal yang tidak termasuk di dalamnya”. Dari pengertian di atas, sebenarnya dapat muncul dua makna nasionalisme yang berbeda dalam tingkat prakteknya, yaitu :
Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Keadaan seperti ini sering disebut chauvinisme
Sedang dalam arti luas, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.

Untuk memenuhi syarat jami’-mani’ di atas, pengertian nasionalisme haruslah dikontekskan dengan kondisi yang ada, sehingga bisa selaras dan dapat dipahami secara seragam oleh seluruh warga negara. Dalam konteks negara Indonesia kita mengenal istilah nasionalisme Pancasila. Istilah ini muncul tentu saja karena dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Pancasila akan menjiwai dan seharusnya juga dijadikan “ruh resmi” bagi warga negara Indonesia dalam melaksanakan nilai-nilai nasionalisme di Indonesia. Jadi bisa kita artikan bahwa nasionalisme Pancasila adalah “pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia terhadap tanah airnya yang didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila”. Dengan mengamalkan nasionalisme Pancasila inilah, maka kita akan terhindar dari aroma chauvinisme di atas.

Nasionalisme : Sebuah Anti-virus Perpecahan

Teori menyebutkan bahwa negara tanpa nasionalisme akan kehilangan visi dan misinya. Negara yang tidak tumbuh rasa nasionalisme di sana juga akan mudah dipecah-belah oleh musuh-musuhnya. Teori tersebut sangat relevan apabila kita menengok kepada sejarah panjang bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang dari segi geografisnya terpisah-pisah oleh hamparan laut yang begitu luas, dan dari segi kultur juga terdiri dari berbagai macam budaya dan adat-istiadat yang beragam, merupakan bangsa yang rentan akan perpecahan. Penjajahan oleh pihak asing selama 3 abad lebih adalah buktinya. Perpecahan bisa timbul karena berbagai macam perbedaan yang ada. Perbedaan adat, agama, ajaran, partai, maupun cara pandang, semuanya berpotensi menimbulkan perpecahan apabila tidak disikapi dengan proporsional.

Dalam kesempatan kali ini, penulis mencoba mengambil contoh perpecahan yang disebabkan karena isu agama. Sejarah mengatakan bahwa isu agama kerap muncul dan menjadi kambing hitam atas perpecahan yang terjadi di berbagai kawasan di dunia. Kasus pemisahan diri Pakistan dari Hindustan (India) terjadi karena perbedaan agama. Uni-Sovyet juga terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil juga karena perbedaan agama. Lihat juga kasus yang terjadi di Thailand Selatan. Di Tanah Air sendiri, kaus Ambon yang sangat menyita waktu pemerintah juga karena perbedaan agama.

Sejarah konflik intern umat beragama, dalam hal ini Islam, juga tidak kalah seram. Di Irak, konflik Sunny-Syiah jelas merupakan konflik yang bukan politis semata, namun juga berlabelkan isu agama. Begitu juga ketika Arab Saudi memilih untuk mendirikan bangsa (kerajaan) sendiri daripada menginduk kepada khalifah yang kala itu berpusat di Turki.. Sebenarnya, hal ini bukanlah hal baru dalam sejarah umat Islam. Beberapa abad yang lalu, bahkan ketika beberapa Sahabat Nabi masih hidup, umat Islam sudah “dijamu” dengan konflik. Puncaknya, dilengserkannya Ali bin Abi Thalib dari kekhalifahan dan digantikan oleh Mu’awiyah. Di Tanah air, pemberontakan DI/TII di masa-masa awal kemerdekaan juga cukup merepotkan NKRI. Hal ini, tentu saja sangat menohok umat Islam yang sedari dulu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan umat dan mengecam bughot (pemberontak) tersebut.

Pertanyaanya adalah: apakah agama sudah kehilangan fungsi sebagai alat pemersatu umat? Bukankah agama manapun selalu menitikberatkan kepada perdamaian dan nir-kekerasan?

Sebenarnya, para foundingfather bangsa menyadari betul akan pentingnya nasionalisme ini. Para tokoh nasional yang berasal dari kalangan “santri” lebih memilih untuk “mengalah” dalam kasus Piagam Jakarta dengan menghapus beberapa kata yang berpotensi menimbulkan dis-integrasi bangsa. Nasionalisme lebih dari segalanya yang harus dijunjung tinggi dan diaplikasikan dalam bentuk sikap warga negaranya yang pro-integrasi.

Berangkat dari sinilah penulis mulai berandai-andai. Andaikan semua warga Irak misalnya, memiliki nasionalisme yang tinggi, mereka akan lebih cinta kepada tanah airnya daripada sibuk mengurus perang dengan saudara mereka sendiri. Nasionalisme adalah solusi ketika semangat perdamaian Islam kurang mengena untuk menyadarkan umat akan pentingnya persatuan. Ketika agama tidak dipahami secara “sepaham” oleh Sunni atau Syiah misalnya, nasionalisme mencoba membantu menyatukan mereka di bawah nama “tanah air”.

Nasionalisme adalah anti-virus yang dapat mencegah perpecahan bangsa. Apapun bentuk dan sebab yang potensial menimbulkan perpecahan bangsa akan “jinak” ketika dihadapkan dengan nilai-nilai nasionalisme.

Nasionalisme dalam Perspektif Islam

Pepatah arab menyebut hubbul wathan minal iman ( Cinta Tanah Air adalah sebagian dari Iman). Entah kapan munculnya pepatah tersebut, yang jelas pepatah pendek tersebut cukup mengispirasi rasa nasionalisme kaum muslim di awal era kemerdekaan. Bung Tomo misalnya, menurut para sejarawan dalam siaran Radio lokal Surabaya, rahasia beliau dalam mengobarkan api perjuangan rakyat kala itu adalah dengan atribut agama berupa pekikan Allahu Akbar. Konsep jihad fi sabilillah dijadikan dasar perjuangan kaum muslimin untuk melawan penjajah dan konsep hubbul wathan juga begitu kental terasa di awal masa kemerdekaan.

Namun, ketika kondisi Indonesia semakin stabil dan arena perjuangan tidak lagi di medan perang, rasa nasionalisme muslimin Indonesia juga semakin luntur. Merupakan kelengahan ulama kala itu yang tidak lagi menggembar-gemborkan urgensi nasionalisme setelah keadaan lebih aman dan kondusif. Hal itu diperparah, ketika kaum muslim mempermasalahkan asal muasal ungkapan hubbul wathan minal iman yang memang tidak berasal dari Hadits Nabi. Seolah-olah muncul ungkapan, bahwa Nasionalisme tidak ada justifikasinya dalam Islam. Dan hal ini melahirkan jiwa anti pemerintah yang sekuler dan sebaliknya, mengagungkan agama sebagai satu-satunya hal yang harus diperjuangkan Persoalan tersebut tidak terlepas dari sentimen kaum muslim terhadap pemerintah dan kaum nasionalis waktu itu. Dalam pemilu misalnya, muncul dua partai besar: PNI dan Masyumi yang merupakan wakil dari dua komponen terbesar kala itu yaitu : Nasionalis dan Agamis. Muncul stigma negatif di masyarakat bahwa dua kelompok ini adalah kelompok yang memang terpisah dari segi ideologi dan cara pandang kenegaraan.

Mengenai hal di atas, sebenarnya dalam Islam dikenal istilah al wala’ wal bara’ (loyalitas dan anti-loyalitas). Kedua istilah inilah yang dipakai oleh beberapa reformis muslim untuk menata kembali hubungan Islam dan negara. Sebut saja Hasan al Banna dan Hasan al Turabi yang mengemukakan tentang masalah dedikasi dan tolong-menolong dalam ruang lingkup kenegaraan sebagai realisasi untuk mengembangkan kecintaan, kasih sayang, kebanggaan, dan kesetiaan pada negara tanpa merusak kepatuhan terhadap agama (Ar-Rasaail ats-Tsalats).

Dalam kaidah ushul (kaidah dasar) juga ada ungkapan Yassiru wala Tu’ashhiru (permudahlah dan jangan mempersulit) . Kaidah tersebut mengedepankan fleksibilitas dan toleransi yang secara otomatis juga akan mengakomodir jiwa nasionalisme di tubuh umat Islam. Artinya, nasionalisme dapat berjalan dalam tubuh umat Islam tanpa harus melanggar prinsip-prinsip syari’ah. Sebagai penguat argumen di atas, di dalam al Qur’an juga terdapat ayat yang memerintahkan taat kepada Ulil Amri. Meskipun para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai definisi Ulil Amri, namun definisi yang dirasa relevan untuk ulil amri adalah para pemimpin (umara’). Apapun definisinya, yang jelas Islam tidak begitu saja menelantarkan umatnya tanpa rasa loyalitas.

Saatnya Merefresh Nasionalisme

Setelah menyimak uraian-uraian di atas, maka hal utama yang patut kita lakukan sebagai warga negara di satu sisi adalah menghidupkan kembali rasa nasionalisme yang mungkin sempat luntur. Dan sebagai umat muslim di sisi lain kita harus memaknai ulang nasionalisme sebagai sebuah alat pemersatu umat. Tidak peduli ada berapa aliran keagamaan yang ada di Indonesia, dengan nasionalisme segala bentuk rasa curiga dan ingin menang sendiri akan terkikis.

Para pemuda adalah agen yang cocok untuk mengemban misi tersebut. Pemuda dengan potensi yang dimiliki dan dengan semangat yang belum kendor adalah kunci utama untuk menyelesaikan misi dan tujuan tertentu. Pemuda Islam yang banyak diinspirasi oleh al Qur’an dan as Sunah haruslah tampil di garda depan pembawa bendera nasionalisme. Islam dengan Nabi Muhammad Saw sebagai panutannya, telah memberikan inspirasi spirit nasionalisme bagi para pemudanya. Ali Maschan Musa dalam bukunya Nasionalisme Kiai : Konstruksi Sosial Berbasis Agama menyebutkan bahwa kontruksi nasionalisme merupakan pantulan dari konsepsi nasionalisme yang ditancapkan oleh Nabi Muhammad. Dalam pemahaman para kiai, menurut Maschan, nasionalisme selalu dikaitkan dengan lahirnya Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah), yang oleh ahli politik Islam, seperti Montgomery Watt (1988) dan Bernard Lewis (1994) melihat Piagam Madinah sebagai cikal bakal terbentuknya Negara nasional (nation-state) yang menempatkan Nabi Muhammad tidak sekedar sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin Negara.

Dengan menempatkan Nabi Saw sebagai panutan dalam segala hal, maka secara otomatis semua muslim harus dapat memaknai kembali nasionalisme berikut relevansinya dengan ajaran Islam. Mempelajari jejak rasul Saw secara komprehensif menjadi keharusan setiap pemuda Islam. Pemuda Islam janganlah menjadi korban pendangkalan ajaran Islam dengan mengambil ajaran tersebut secara instant dan cepat saji. Ketika tidak ada justifikasi langsung dari Islam tentang nasionalisme misalnya, lantas mereka meninggalkan nasionalisme begitu saja tanpa berusaha untuk menggalinya lebih dalam lagi. Pemahaman sepotong-potong inilah yang berbahaya bagi eksistensi Islam di jaman yang terus berkembang seperti ini.

Membatasi komitmen hanya untuk agama, suku atau golongan tertentu adalah bentuk primordialisme. Umat Islam tidak perlu lagi bersikap narsis dengan mengatakan “Saya Jawa, Saya Muslim, Saya Parti ini”. Cukup “Saya Indonesia”. Masa rawan dan sensitive dalam moment pemilu kali ini merupakan saat yang tepat untuk menyegarkan kembali pemahaman kita akan nasionalisme. Umat Islam jangan ragu-ragu untuk meneriakkan semboyan “For the God and the country” sebagai moto baru untuk menata negara Indonesia.(iftah-risal)

0 Response to "Muslim Nasionalis; Urgensi dan Relevansinya dengan Ajaran Islam"

Posting Komentar