Kreatifitas dan Teori Relevansi



Kreatifitas selalu menjadi hal yang terus didengungkan dalam kehidupan berorganisasi. Karakteristik suatu perkumpulan bisa disebut sebagai organisasi eksis_ di samping mempunyai tujuan yang jelas_ adalah apabila ada kreasi dari anggotanya untuk memajukan perkumpulan yang ada, dan bukan memanfaatkannya sebagai wadah kumpul belaka. Organisasi tanpa kretifitas sudah pasti akan mandeg dan tinggal menuju ajal. Maka, ide kreatif adalah mutlak bagi setiap organisasi. Kreatif tidak serta merta saya artikan dengan memulai sesuatu yang baru, tidak pula saya artikan dengan penemuan-penemuan penting. Titik berat dari kata kreatif di sini adalah gagasan yang mengarah kepada usaha untuk menjaga eksistensi organisasi di tengah-tengah perkembangan jaman. Sehingga kreasi tersebut bisa dalam bentuk ide baru, penemuan baru, terobosan baru, dsb; dan bisa juga dalam bentuk: penyempurnaan kegiatan, format ulang suatu acara, kaji ulang suatu program, mengkondisikan program lama dengan tantangan baru yang ada, mengembangkan kinerja, membuat kemasan yang berbeda dari sebelumnya, cara yang berbeda, metodologi berbeda, dsb. Intinya, kreatif dalam konteks ini tidak menafikan warisan-warisan lama yang relevan untuk dipertahankan.

Dalam kesempatan refleksi akhir tahun, saya ingin mencoba mengangkat tema kreatif tadi dalam kerangka pertumbuhan dan perkembangan KKMI beberapa waktu terakhir berikut pertimbangan relevansinya dengan kebutuhan anggota.


Pertama-tama saya mengapresiasi kemajuan demi kemajuan dalam tubuh KKMI dari segi kualitas program-programnya. Kebutuhan mendasar bagi anggota sebagai mahasiswa telah dicukupi oleh KKMI dalam aplikasi program-programnya. Meskipun demikian, KKMI sebagai sebuah “organisme” yang hidup dan berkembang tetap saja membutuhkan sesuatu yang bersifat dinamis, tidak statis, dan terus relevan dengan peluang-peluang dan tantangan yang ada.
Sesuatu yang dinamis tadi terkadang tidak secara gamblang terpapar dalam program kerja. Terkadang “tersembunyi” di tengah kalimat-kalimat Garis-garis Besar Program Kerja (GBPK) maupun Ad/ART , terkadang juga hanya merupakan respon atas peluang maupun tantangan yang tiba-tiba muncul dan tidak direncanakan sedari awal. Inilah yang pada akhirnya saya definisikan sebagai kreatifitas. Kreatif untuk mengembangkan kinerja, menemukan celah-celah peluang yang menguntungkan bagi organisasi, dan berani mengambil resiko apapun untuk berkembang. Contoh gampangnya adalah yang baru-baru ini dibahas di tingkat Musyawarah Besar, yaitu : penghapusan Badan Otonom dan menggantinya dengan UKM,(entah itu unit kegiatan mahasiswa atau unit kreasi mahasiswa). Muncul pertanyaan, mengapa harus diubah? Bukankah sama saja? Toh hanya berganti nama? Pada tahap inilah kreatifitas KKMI dipancing. Hal ini meskipun pada awalnya bersifat “ teoritis non-praktis”, tapi ke depan akan memberi efek yang luar biasa terhadap harmonisme organisasi. Ingat! Kesuksesan teoritis akan memberi dampak kesuksesan pada tingkat praktek. Kerancuan koordinasi dan kenyataan bahwa besarnya intervensi DPI terhadap BO membuatnya harus diubah menjadi UKM yang berafiliasi langsung dengan departemen terkait di tubuh KKMI. Perlu dicatat, saya tidak hendak mengungkitnya di sini dengan tujuan justifikasi dengan benar maupun salah. Saya hanya ingin menggambarkan, bahwa sesuatu “sesakral” AD/ART pun apabila dalam prakteknya tidak relevan dengan peluang, kekuatan organisasi, maupun tantangan yang ada; maka tidak menghalangi kita untuk mengoreksinya. Contoh lain adalah berupa respon DPI 2008-2009 yang sedari awal tidak mencantumkan satu pun program kerja untuk ketua karena pertimbangan tertentu. Setelah berjalan hampir 7 bulan, mayoritas anggota menganggapnya tidak terlalu “membantu” dalam usaha memonitor kinerja ketua, pun dalam rangka memetakan otoritas dan tanggungjawab agar lebih fokus. Respon DPI yang dengan legowo mengubah bentuk awal program kerja yang_sebenarnya_secara resmi telah disetujui di rapat kerja pertama DPI dan menyesuaikannya dengan kebutuhan anggota; adalah suatu respon positif yang sekali lagi menggambarkan bagaimana organisasi harus selalu mempertimbangkan aspek relevansi dalam segala aspek, teoritis maupun praktis. Itu hanya dua dari sekian banyak contoh yang ada, yang sengaja saya ambil dari aspek teoritis saja. Dalam ranah praktek, jauh lebih banyak lagi bentuk kreatifitas yang lahir dari KKMI akhir-akhir ini sebagai sebuah organisasi yang dinamis. Terbentuknya departemen-departmen baru dalam 2-3 tahun ini dengan tugas dan tanggungjawab yang sama sekali baru jelas merupakan bentuk kreatifitas yang tak ternilai. Ditambah dengan semakin variatifnya format kegiatan dari waktu ke waktu plus pembenahan yang efisien mengantarkan kita untuk sekali lagi angka topi bagi KKMI. Tidak ada yang pantas kita sampaikan kecuali apresiasi dan dukungan penuh untuk kreatifitas-kreatifitas yang muncul tersebut.
Relevansi Aspek Kekeluargaan
Prinsip relevansi di atas hendaknya bisa diaplikasikan di dalam dua sudut pandang sekaligus. Pertama; adalah KKMI sebagai sebuah organisasi profesional, dan kedua; KKMI sebagai sebuah organisasi kekeluargaan (sebagaimana namanya). Memperbincangkan KKMI sebagai sebuah organisasi profesional tentunya lebih mudah dan pasti karena rujukannya jelas ada. Mulai dari AD/ART, GBPK, hingga Program Kerja adalah serangkaian acuan untuk “melihat” KKMI. Namun, tidak semudah itu dalam melihat KKMI dari sudut pandang “kekeluargaan”nya. Hal ini karena aspek kekeluargaan adalah aspek normatif ( hal-hal yang bersifat norma) yang tentu saja tak tertuliskan dalam lembaran-lembaran kertas formal.
Ada beberapa fenomena menarik dari KKMI ini yang barangkali cocok untuk dijadikan contoh bagaimana prinsip relevansi dapat dipraktekkan juga di aspek kekeluargaan ini. Salah satunya adalah perkembangan kesolidan KKMI dari tahun ke tahun. Pada Kepengurusan KKMI 2006-2007 (ketika saya menjadi anggota baru) iklim kekeluargaan masih saya rasa kurang. Masalah Intern DPI dengan vulgar terekspos ke publik, sedikit banyak menggambarkan bagaimana kurang harmonisnya “keluarga” KKMI waktu itu. Pun demikian ketika saat-saat menjelang SPA, nuansa saling “jebak” masih sangat terasa. Dalam konteks organisasi profesional, hal-hal semacam ini mungkin dipandang sehat karena dengan adanya “lawan” memungkinkan adanya kontrol kepengurusan yang sehat. Akan masih dalam taraf “sehat” dan normal apabila masih dalam koridor profesionalisme. Namun, ketika mulai merembet ke persoalan-persoalan non organisasi, hal-hal semacam itu hanya akan menimbulkan iklim tidak sehat di tubuh organisasi.
Tanpa perlu mengorek luka lama lebih dalam lagi, saya pikir perkembangan KKMI hingga 2009-2010 ini sangatlah menggembirakan. Setidaknya, nuansa kekeluargaan dalam awal pemilihan maupun kesolidan kepengurusan KKMI itu sendiri telah mengalami perkembangan yang signifikan. Inilah yang membuktikan bahwa kata “keluarga” semakin relevan disematkan ke KKMI sebagaimana cita-cita founding father-nya.
Hal selanjutnya, barangkali lebih banyak berpulang ke anggota secara keseluruhan. Yaitu partisipasi yang masih pasang-surut. Memang partisipasi organisasi bersifat dinamis, tidak statis, yang selalu naik-turun. Namun, coba kita pulangkan hal tersebut ke teori relevansi tadi. Apakah cocok sebuah keluarga dibangun di atas sikap tidak saling mendukung?apakah sopan bagi seorang anak untuk tidak melaksankan perintah “bapak”nya?dengan kata lain, layakkah kita sebagai keluarga memprioritaskan urusan pribadi masing-masing di atas kepentingan keluarga besar?Hal yang sukar ditentukan sekarang, ketika aspek kekeluargaan masih belum kokoh. Kita bersama lah yang akhirnya bertanggung jawab untuk memperkokoh aspek kekeluargaan tersebut. Menjadikannya agar tetap relevan disematkan di KKMI sampai kapanpun. Semoga berhasil!

0 Response to "Kreatifitas dan Teori Relevansi"

Posting Komentar