Sikap Bijak untuk Valentine


Tanggal 14 Februari merupakan hari yang special bagi mereka yang ingin menunjukkan kasih sayangnya kepada orang terdekatnya. Hari yang biasa kita kenal dengan nama Hari Valentine ini memang menimbulkan efek positif maupun juga negative di(sebagian) kalangan muda. Berbagai variasi cara ditempuh demi menyampaikan "maksud baik" berupa saling berbagi kasih, mulai tukar-menukar hadiah, coklat dan lain sebagainya. Namun bagaimana sikap muslimin dan muslimat kita? bagaimana dengan ikhwan dan akhwat kita? bagaimana juga Islam memandang Valentine berdasarkan sudut pandangnya?


Pertama-tama saya ingin men"takhsish" dulu perayaan Valentine yang saya maksud. Tentu semua sepakat bahwa perayaan dalam bentuk hura-hura dan pesta apalagi sampai terjadi ikhtilath antar lawan jenis adalah membawa madharat dan selanjutnya bisa dikatakan haram. Hampir semua juga sepakat bahwa perayaan Valentine dengan cara ngedate dengan pacar alias berdua-duaan tanpa keperluan yang dibenarkan secara syar'i dapat juga dikategorikan menimbulkan fitnah dan dosa. Maka dalam hal seperti ini tidak ada yang ingin saya sampaikan kecuali sebagaimana pendapat dominan akan larangan merayakannya.
Namun, pantas diingat bahwa Valentine tidak sesempit itu ( kalau tidak bisa dibilang "sekotor itu"). Di antara yang merayakannya tentu ada yang sudah resmi menikah, apalagi para penganten baru. Atau mereka yang menjadikan hari Valentine ini sebagai moment untuk memberi kartu ucapan berisi kata-kata mutiara dan hadiah bermanfaat bagi teman, sahabat, adik dan sebagainya. Apakah itu juga masuk wilayah "terlarang" seperti yang kita singgung di atas?
Sejarah Valentine: Hari Raya atau sekedar Budaya?
Ada banyak versi tentang Valentine diantara yang terkenal adalah kisah tentang Pendeta St. Valentine yang dibunuh oleh pemerintah romawi yang dipimpin Raja Claudius II pada tanggal 14 Februari 276 M. Alasan tentang pembunuhan itulah yang sebenarnya bermacam-macam, ada yang mengatakan karena pendeta ini terus berda'wah mengajak orang masuk Nashrani dan ada juga qoul_yang menurut saya lebih kuat_yaitu karena pendeta ini menentang qonun kerajaan yang melarang pernikahan. Raja menganggap bahwa para bujangan lebih tabah dan kuat dalam berperang daripada mereka yang beristri, oleh sebab itu pada waktu itu Raja melarang pernikahan. Pendeta St Valentine ini tidak setuju dan malah sering menjadi "penghulu" bagi muda-mudi yang melangsungkan pernikahan.(salam dan info swaramuslim.net, Februari 2005).
Bertolak dari sinilah nampaknya kita harus jernih berpikir. Apakah hari Valentine yang kita jumpai sekarang ini merupakan hari raya kaum Nashrani yang berarti menyentuh aspek religi dan akidah, ataukah hanya sebatas budaya yang menyentuh aspek sosial saja yang berarti di luar masalah ke-aqidah-an.
Kalau memang benar bahwa hari 14 Februrari ini benar-benar mengenang jasa seseorang yang keukeuh mempertahankan hal yang ia anggap benar dan ternyata juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan maka peringatan yang seperti ini tak ubahnya seperti peringatan 17 Agustus, 10 Nopember, 28 Oktober, maupun 21 April yang kesemuanya adalah peringatan atas jasa para pahlawan kita. Yang menjadi perbedaan hanyalah "pahlawan" kasih sayang ini berasal dari kalangan non-muslim karena memang pada waktu itu Islam yang (akan) dibawa oleh Nabi Muhammad SAW belum turun.
Adapun menyangkut sesuatu yang ia perjuangkan ternyata ada juga justifikasinya dalam Islam yaitu kaidah "la rohbaniyyah fil Islam"(tidak ada sikap kerahib-rahiban dalam Islam), dimana sikap rahbaniyyah ini identik dengan anti-nikah, penyendirian tak berkesudahan, bertapa dan lain-lain. Sikap St. Valentine ini justru menentang sikap dominan para pendeta dan bangsawan waktu itu yang melarang menikah karena asumsi yang berkembang menikah hanya akan memperlemah pertahanan kerajaan.
Tentu nilai sosial yang terkandung dalam hari Valentine berbeda dengan hari lainnya yang juga sering kita dengar dengan sebutan April Mop. Tanpa merujuk ke sejarahpun kita sudah pasti menolak praktik perayaan April Mop. Karena inti April Mop adalah hari dimana boleh menipu dan berbohong. Dan tidak ada keinginan bagi saya untuk mencari-cari sejarahnya karena cukup bagi saya operasi dan prakteknya di masyarakat..
Begitu pula terhadap hari perayaan lainnya, misalnya perayaan hari Natal. Bisa kita maklumi silang pendapat yang tajam di antara umat Islam sendiri mengenai perayaan Natal karena unsur religi lebih kental dari unsur sosialnya. Tidak aneh juga kalau ada fatwa haram mengenai keikutsertaan umat Islam dalam perayaan Natal ini, karena menurut para mufti, aspek religi yang menyeret ke masalah keyakinan dalam hal perayaan Natal memberi efek negatif bagi kaum awam. Meskipun aspek yang lain semacam toleransi dan ta'aruf positif antar agama juga sering dijadikan perbandingan.
Maka dengan berbagai paparan ini dapat kita simpulkan, wallahu a'lam bish showab, bahwa gejolak masyarakat terhadap hari Valentine yang terjadi sekarang ini adalah gejala sosial dan bukan dekonstruksi akidah. Adanya sejumlah ucapan selamat di mal-mal yang biasanya disertai dengan diskon besar-besaran; tukar-menukar hadiah antar teman, sahabat, adik-kakak, bahkan suami-istri; semuanya adalah murni budaya meskipun bukan budaya asli lokal namun tetap saja tidak terkait dengan pengreposan aqidah seperti pendapat dominan. Dan penyikapan terhadap sebuah budaya tentu tidak se-ekstrim sikap kita terhadap perusakan akidah.
Apa yang ingin saya sebut di sini adalah sikap bijak kita dalam menyikapinya. Maksud dari sikap bijak ini adalah dengan tetap apresiatif dan akomodatif terhadap aspek-aspek positif yang terkandung di dalam perayaan hari Valentine ini. Memang benar kita sudah mempunyai hari raya sendiri Idul Fitri dan Idul Adha, bahkan kita juga kaya akan hari-hari besar dan bulan-bulan mulia macam 1 dan 10 Muharam, Isra' Mi'roj, Maulid Nabi, Hijrah Nabi, Nuzulul Qur'an, bulan suci Ramadhan dan masih bayak lagi munasabah lain yang layak kita manfaatkan sebagai moment untuk bershodaqoh, saling menasihati dan berbagi, muhasabah, silaturahmi, pengajian, dan lain sebagainya. Dan kita memang di jalur yang benar apabila mengisinya dengan hal-hal positif seperti itu.
Namun perlu diingat bahwa perayaan-perayaan tersebut memang populer di negara-negara Islam atau negara berpenduduk muslim. Lalu bagaimana partisipasi minoritas muslim kita yang berada di negara-negara Barat (yang kental dengan perayaan-perayaan semacam Valentine) atau di negara lain dalam usaha mulia untuk memperkenalkan nilai-nilai kasih sayang yang ada dalam Islam ke masyarakat sekitar. Di Libya sendiri hari raya Idul Fitri juga kalah semarak dibanding hari "Fatih".
Akhirnya pemaparan ini membawa saya ke sebuah kesimpulan bahwa akulturasi Islam dengan budaya setempat adalah satu dari sekian solusi masalah di atas. Tanpa perlu mengangkat kembali pertimbangan "toleransi", jalan terang bagi proses perkembangan Islam yang belum final adalah harus dilaksanakan secara santun dan akomodatif terhadap budaya-budaya lokal maupun budaya serapan yang berkembang. Lagipula, semakin banyak munasabah untuk berbuat baik, semakin banyak pula point taqwa yang kita kumpulkan. Bukankah Islam juga menyuruh untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya.
In uridu illa al ishlah ma istatho'tu,
wa ma taufiqi illa billah.
wallahu a'lam

1 Response to "Sikap Bijak untuk Valentine"

  1. aad says:
    7 September 2010 pukul 21.16

    sal, aku ada ulasan dikit soal tulisan ente ini, disini:

    http://www.blogeaad.co.tv/2010/03/sikap-bijak-terhadap-realitas.html

Posting Komentar