Pemahaman Kontekstual di Mata Islam Tradisional


NU adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang dari awal tidak malu-malu mengusung Islam yang beratributkan tradisi lokal. Karenanya tidak heran jika NU lebih sering menampakkan Islam khas lokal yang oleh KH Abdurrahman Wahid diberikan label " Pribumisasi Islam". Islam khas lokal inilah yang sering disalahartikan oleh sebagian masyarakat karena dinilai telah menjauhkan Islam dari kemurniannya. Namun perbedaan persepsi semacam itu merupakan hal yang wajar-wajar saja selama tidak mengarah pada sikap konfrontatif antara kedua belah pihak.

Seorang kawan pernah bertanya kepada penulis : pantaskah kita berbangga dengan NU kita? Sebagai warga NU penulispun tak ragu untuk menjawab dengan jawaban yang positif. Namun, jawaban spontan dari penulis tadi nampaknya belum cukup memuaskan sang penanya. Penulis tentu butuh argumen yang tepat alias jitu sehingga minimal bisa memberi titik awal kepada penanya agar lebih mantap dalam memperdalam NU berikut kekayaan tradisinya, karena kekayaan tradisi NU telah menempatkan jam'iyyah ini tidak pernah kering untuk ditulis dan dikaji. Sudah begitu banyak makalah-makalah maupun seminar-seminar diselenggarakan sebagai upaya untuk memetakan pola pikir makhluk bernama " Nahdlotul Ulama" agar kaum nahdliyyin yang jumlahnya fantastis itu tidak kebingungan dalam memahami jami'yyah ini.



Benarkah NU Tidak Jelas?
Salah satu buku karangan penulis tersohor tanah air mencantumkan bab khusus untuk membahas NU beserta (konon) ketidakjelasan jalan pikiran ulama-ulamanya.
......di kalangan NU serba ada hal-hal yang tidak jelas. Kiyai Fulan A melarang santrinya membaca kitab Subulus Salam tanpa alasan yang jelas. Kiyai Fulan B melarang santrinya membaca koran tanpa alasan yang jelas. Kiyai Fulan muda menjejali generasi muda NU dengan faham-faham kekiri-kirian tanpa alasan yang jelas pula......memang dari beberapa contoh itu sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah hal-hal yang tidak jelas..... .
Yang patut kita perhatikan dalam kasus ini adalah, masih banyaknya masyarakat yang memandang NU secara juz'i dan bukan kully. Fenomena-fenomena yang disebutkan penulis buku di atas menggambarkan kasus-kasus yang berbeda-beda secara jaman, tempat, maupun objek da'wahnya. Tentu saja da'i yang lihai adalah yang mampu menata manhaj da'wah yang dia tekuni.
Seorang da'i atau pemegang otoritas kelompok tertentu semacam kyai, pengasuh majlis ta'lim atau seorang ustadz tentulah paham bagaimana memanfaatkan sistem adat, budaya, dan tingkat pendidikan suatu kaum di tempat tertentu dan dalam periode tertentu pula. Tidak mungkin selamanya kitab SubulusSalam dilarang untuk dikaji, atau larangan membaca koran berlaku selamanya bagi santri. Sama tidak mungkinnya untuk "menyegerakan" metode berpikir bebas yang diidentifikasi sebagai faham kekiri-kirian kepada masayarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah. Atensi lebih akan hal ini diharapkan dapat menghasilkan poin penting yaitu : penyampaian da'wah secara jitu karena adanya sinkronisasi antara da'wah dan mad'u.
Anggapan akan ketidakjelasan NU pun berkembang dari yang semula masalah fiqih mengarah ke masalah sejarah dan politik. Mengenai sejarah, muncul isu seputar latar belakang didirikannya NU, apakah memang benar pendapat sebagian sejarawan bahwa NU berdiri untuk menyaingi keberadaan Muhammadiyah dan Al Irsyad?. Nampaknya perlu sikap obyektif dalam menjawab masalah ini.
Berdasarkan sumber sejarah, berdirinya NU dilatarbelakangi oleh komite Hijaz yang mengutus beberapa tokoh untuk menyuarakan aspirasi kalangan muslim pesantren yang keberatan akan kebijakan pemerintah Saudi pada waktu itu. Naiknya Ibnu Su'ud sebagai pemegang kendali Kerajaan Saudi dikhawatirkan akan menghapuskan beberapa tradisi yang telah akrab di kalangan muslimin waktu itu. Komite ini semata-mata dibuat untuk memberikan penjelasan secara komprehensif kepada Raja tentang pentingnya bersikap toleransi, saling menghormati dan mengakui realitas perbedaan. Selanjutnya komite kecil tersebut berkembang menjadi organisasi keagamaan yang lebih besar.
Namun karena kenyataannya, NU memang berdiri setelah Muhammadiyah dan Persis yang membawa pembaharuan bagi Indonesia, maka muncul anggapan bahwa kalangan muslim pesantren dan tradisional tidak mau kalah saing dengan cara mendirikan organisasi pengayom mereka itu. Gus Dur ketika masih menjabat sebagai ketua PBNU menyatakan rasa herannya akan tidak obyektifnya para sejarawan dalam menilai berdirinya ormas ini. Beliau berpendapat bahwa berdirinya NU adalah untuk mewujudkan tradisinya sendiri, mencapai cita-citanya sendiri. Ia ditaqdirkan ‘bernasib’ harus memperjuangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah menurut versinya sendiri. Bahwa NU lahir bukan karena untuk menghadapi organisasi lain jelas terlihat dari pendekatannya kepada para penguasa Saudi Arabia waktu itu. Mereka adalah dari kelompok pembaharuan, namun NU didirikan justru untuk berunding dengan mereka tentang masalah di atas. Berhubungan baik-baik, dengan mengakui hak hidup mereka sebagai sesama muslimin. Kalau lahir sebagai reaksi terhadap pembaharuan, tentunya bersikap konfrontatif terhadap pemerintah Saudi Arabia. Dari lahirnya hingga saat ini (1984) ternyata NU tidak pernah bersikap begitu.
Dari paparan di ataslah Gus Dur kemudian merasa heran kenapa ada anggapan bahwa berdirinya sebuah organisasi besar semacam NU hanya karena reaksi terhadap berdirinya organisasi lain.
Menurut penulis, berdirinya NU adalah sebuah usaha sistematis untuk memformalkan semangat dan jiwa-jiwa keIslaman masyarakat Indonesia waktu itu ke dalam sebuah organisasi resmi. Karena sejak semula masyarakat Indonesia sudah mempunyai jiwa dan semangat Islam secara kultural yang secara garis besar identik dengan pemikiran NU. Hal ini bisa kita lihat bahwa sebelum NU didirikan, hubungan antar pesantren pada waktu itu sudah terjalin, silaturahmi antar kyai sudah terbangun meskipun belum ada organisasi resmi yang bertindak selaku pengayom mereka. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ruslan Abdul Gani bahwa orang yang mengetahui situasi, kondisi dan psikologi masyarakat desa tentu akan menemukan self help dalam proses berdirinya NU, sehingga deklarasi NU adalah gerakan sistematis muslim pedesaan yang termasuk mata rantai kebangkitan rakyat secara nasional. Pendapat Ruslan Abdul Gani tersebut menggambarkan bahwa muslimin pedesaan waktu itu sudah berislam dengan versi mereka, dan selanjutnya butuh organisasi yang menolong dan mengayomi mereka. Kenyataan akan munculnya embrio-embrio NU secara hampir bersamaan mulai dari Tebu Ireng, Tambak Beras, dan tempat-tempat lainnya menunjukkan bahwa sejak semula ruh NU memang telah ada sebelum raganya terwujud. Hal ini pula yang memunculkan kesimpulan bahwa besarnya massa NU dari dulu hingga sekarang bukanlah semata-mata hasil dari ekspansi merebut lahan orang melainkan timbul melalui kesadaran moral dari mereka yang sefaham.

NU, Pemahaman Kontekstual, dan Negara
Memperbincangkan negara selalu menarik apalagi kalau ditinjau dari kacamata agama. Pada masa awal kemerdekaan, para ulama NU terkesan enggan membahas secara detail dan komprehensif tentang Negara Islam. Hal ini bisa dimaklumi karena ulama NU didominasi oleh para kiai pesantren yang kurang mempunyai referensi yang kokoh tentang konsep Negara Islam. Atau bisa jadi para pendiri dan sesepuh NU pada waktu itu belum tertarik untuk mengangkat isu Negara Islam karena yang dibutuhkan pada saat sebelum mendapatkan kemerdekaan adalah persatuan umat secara keseluruhan guna mempercepat kebangkitan nasional secara menyeluruh yang lintas ras, golongan maupun agama. Sebagian juga memandang bahwa kondisi masyarakat waktu itu tak ubahnya Madinah di awal kepemimpinan Rasul yang memiliki keanekaragaman suku, ras dan agama. Lalu muncul pertanyaan, kenapa sampai sekarang ketika keamanan negara relatif stabil ( daripada masa awal kemerdekaan ) NU tidak juga mengangkat khilafah Islamiyah sebagai misi jam'iyyah?
Sebenarnya tidak ada hal yang patut dikhawatirkan dari sikap tersebut. Hal ini justru menggambarkan akan keluasan pemahaman agama yang luar biasa dari para kyai, pengurus, simpatisan maupun kaum nahdliyyin secara keseluruhan. Meskipun tidak secara "martir" mengusung khilafah islamiyah sebagai misinya namun pada hakikatnya NU senantiasa berjuang dengan gigih atas terwujudnya maksud-maksud syari'ah ( maqashid al Syari'ah) maupun tegaknya kulliyat al khoms yaitu : hifdz ad din ( jaminan atas agama ), hifdz an Nafs ( jaminan atas jiwa ), hifdz al Maal ( perlindungan atas harta benda ), hifdz Nasl wal 'Irdh ( jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi), dan hifdz al 'Aql ( jaminan untuk berekspresi secara rasional) di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. NU cenderung lebih apresiatif terhadap budaya Indonesia, menerima perubahan, dan kaya akan inovasi-inovasi kultural selama sejalan atau minimal tidak bersinggungan dengan asas-asas di atas. Jadi definisi darul Islam adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam meskipun tanpa harus membawa-bawa bendera Islam.
Sikap progresif seperti itu jelas tak terlepas dari peran kyai, ulama, maupun para pemikir NU yang alhamdulillah telah berhasil memahami agama secara kontekstual dan menerjemahkan sumber-sumber Islam yang otentik secara lebih komprehensif. Pemahaman nash secara harfiah dianggap tidak terlalu menolong untuk menangkap maksud-maksud terdalam yang terkandung di dalamnya. Pemahaman seperti inilah yang bisa menyelematkan jamaah dari cara pandang fundamental yang terkadang menunjukkan paras kasarnya maupun jebakan temporal akibat pemahaman nash secara harfiah. Hal ini juga yang membuat NU tetap eksis dan diterima khalayak dan juga bangsa Indonesia dari masa ke masa. Fakta mencatat bahwa ormas inilah ketika masa-masa sulit mempertahankan kemerdekan tampil sebagai imam politik umat Islam di tengah kondisi Masyumi yang semakin terpojok akibat kurang sabar dalam menghadapi move politik Soekarno.
Dengan fakta di atas maka tidak berlebihan jika Ahmad Wahib (seorang pemikir Islam yang mulai dikenal justru setelah beliau wafat) menulis dalam buku catatannya bahwa jikalau NU tetap memegang teguh prinsipnya dan dilambari dengan sikap demokratis, jujur dan berwatak maka tidak mustahil bahwa NU akan terus menjadi ormas terbesar di Indonesia dengan masa depan yang cerah.
Sekarang tugas kaum Nahdliyyin adalah ikut serta secara aktif dalam rangka menjaga prinsip-prinsip jam'iyyah yang telah dirumuskan dengan baik oleh para tokohnya. Jumlah anggota yang luar biasa hendaknya benar-benar bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Namun dengan catatan : hindari fanatik berlebihan yang justru mengarah kepada hal-hal yang kontra produktif dan sangat bertentangan dengan prinsip maupun semangat Nahdlotul 'Ulama

2 Response to "Pemahaman Kontekstual di Mata Islam Tradisional"

  1. Anonim Says:
    19 Maret 2010 pukul 14.16

    wah,,,one pice nya mana sal,,!!!

  2. Miftah Risal says:
    20 Maret 2010 pukul 11.57

    komennya ga pas,,,nevermind,,ambil di link gw

Posting Komentar