NU Muda vs Sindrom Kekalahan

Dalam konteks Indonesia, Organisasi kemasyarakatan (Ormas)  pada umumnya menempati peran strategis. Kondisi ini tercipta karena kultur bangsa Indonesia yang ikut melestarikan ormas-ormas apapun menjadi subur. Gemar berkumpul dan membentuk komunitas, cenderung suka hal yang relatif baru plus iklim demokrasi yang diadopsi bangsa Indonesia ikut memupuk eksistensi dari ormas-ornas tersebut.  Satu persatu ormas muncul ke permukaan termasuk yang berlatar belakang agama Islam.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah satu di antara sekian banyak ormas yang lestari di Indonesia. Ikut menjadi saksi maju-mundurnya bangsa Indonesia. NU adalah organisasi kemasyarakatan  bercorak sosial-keagamaan yang mempunyai basis massa yang relatif besar dan bahkan sangat besar apabila masyarakat yang ber-NU secara kultural (bukan struktural) dimasukkan sensus penghitungan.
Umurnya pun bahkan lebih lama dari usia kemerdekaan bangsa ini. Layaknya manusia yang melewati masa pertumbuhan hingga mencapai kedewasaan, NU pun dengan umur yang dimilikinya sekarang ini (hampir 83 tahun) sudah layak untuk disebut sesepuh yang (harusnya)membina dan mengarahkan ormas-ormas muda yang masih brondong, memberi masukan-masukan positif untuk pemerintah, bahkan menggerakkan ormas-ormas  Islam lain di seluruh dunia untuk berjuang dalam rangka “Islam” rahmatan lil alamin. Itu merupakan sebuah tantangan baru dan bahkan kewajiban yang harus diemban NU yang notebene sebagai ormas Islam terbesar di negara yang berpenduduk muslim terbesar pula.

Namun demikian, nampaknya kita harus realistis dan obyektif untuk menilai kapasitas NU dalam merespon tantangan tersebut. Masa pertumbuhan NU dari sejak berdiri sampai sekarang penuh dengan sejarah yang menggambarkan berbagai macam variasi tantangan yang harus dihadapi NU untuk sekedar tetap eksis dan diakui. Hasilnya? “Pertarungan” NU versus tantangan-tantangan tadi seringkali berbuah pahit bagi NU. Dengan kata lain NU lebih sering “kalah” daripada menang. Kalah di sini bukan berarti NU punah tak berbekas, bukan! Melainkan kalah dalam memperjuangkan eksistensinya secara “de facto”. Secara yuridis NU masih berdiri, manajemenpun masih relatif stabil dengan kepengurusan yang tidak pernah vacum, namun secara de facto NU kalah dalam pertarungan eksistensi.
Kontroversi seputar sebab dibentuknya NU misalnya, NU diklaim muncul karena terpinggirkan dalam kongres-kongres Islam dan adanya perasaan kecewa karena ruh perjuangannya tidak terwakili dalam kongres-kongres tersebut. Meskipun Gusdur menyanggah klaim tersebut, namun nyatanya memang NU muncul sebagai reaksi adanya arus kuat kelompok Islam puritan dan modernis pada waktu itu. Kekhawatiran akan dibumi hanguskannya tradisi-tradisi lokal memunculkan semangat bagi kalangan pesantren untuk membentuk ormas yang mengayomi mereka.
Dalam pesoalan politik-pun NU juga kalah dalam pertarungan eksistensi. NU keluar dari Masyumi karena kecewa begitu pula ketika keluar dari PPP di jaman orba. Setelah reformasi NU mendirikan partai sendiri bernama PKB, namun hasilnya juga kurang memuaskan. Ketika PKB digadang-gadang bisa bertahan, faktanya partai tersebut pecah juga di kemuadin hari. Mengurus diri sendiri saja, dalam konteks ini NU terkesan kualahan. NU juga kalah dalam saling klaim keberhasilan. Para pejuang NU di masa 65 berada di garda depan dalam mempertahankan Pancasila, namun klaim keberhasilan dimenangkan oleh Soeharto dengan militernya. Setelah itu, kalangan NU pun dikembalikan ke masjid-masjid dan di”kandangkan” lagi di pinggiran.
Dalam bidang ekonomi, jarang kita dengar sumbangsih kalangan NU dalam sistem perekonomian Indonesia. Usaha-usaha kiai NU untuk memperjuangkan ekonomi syari’ah kini bahkan dengan gampang dikalim oleh kalangan “lain” dan NU seperti kehilangan fungsi dan peran dalam konteks ini. Pun demikian dalam konteks perekonomian Indonesia secara umum. Jarang ada kader NU yang punya andil menonjol dalam bidang ini. Tengok saja jabatan menteri-menteri bidang perekonomian yang hampir mustahil dipegang oleh kader NU. Dan masih banyak lagi kekalahan-kekalahan real NU yang pada akhirnya menggambarkan betapa tidak seimbangnya kuantitas dan kualitas jam’iyyah ini. 
Jaman telah berubah. Tantanganpun juga terus berkembang. Di sisi lain NU terkesan emoh meninggalkan pakem. Di saat munculnya pemikir-pemikir muda kritis dari kalangan intern NU, yang berusaha mengadakan pembaharuan baik dalam segi pemikiran maupun sistem, yang menelorkan ide-ide segar untuk NU secara khusus, dan Islam secara umum, mana dukungan NU (secara kelembagaan) untuk mereka?
Jam’iyyah ini seperti tidak kuasa untuk melindungi kadernya tersebut dari serbuan golongan lain yang tidak sepaham. Bahkan, kalangan NU sendiri mengganggap pemikir-pemikir baru tersebut sebagai empunya pemikiran liar yang berbahaya bagi kemurnian ajaran Islam. Pemikir-pemikir inilah yang menatap jauh ke depan, 30-50 tahun ke depan, demi masa depan NU selanjutnya.
Dengan semakin kompleksnya kompetisi dengan kelompok sosial lainnya, semakin variatifnya tantangan-tantangan yang dihadapi, semakin menjamurnya terorisme yang mengatasnamakan Islam, semakin merosotnya akhlaq manusia, semakin terkepungnya NU di tengah-tengah golongan Islam radikal, semakin dibutuhkannya perubahan sistemik dalam tubuh NU, semakin, semakin, dan semakin, itu semua tidak bisa diselesaikan hanya dengan slogan kembali ke“aswaja” murni. Konsep aswaja yang menjadi ciri khas NU haruslah dimaknai secara benar dan tidak eksklusif. Rumusan tidak matang dari konsep ini hanya akan meminggrikan golongan-golongan lain yang tidak sefaham. Dampaknya jelas akan melahirkan perpecahan dari tubuh NU, karena NU tidak ingin mengakomodir kelompok ini. Menjadi semakin runyam ketika anak muda NU justru mendirikan organisasi lain dan konsentrasi di dalamnya. Potensi new-Nus ini hanya akan mengalir ke organisasi yang sama sekali tidak berlabel NU. Sebabnya? Hanya karena tidak terakomodirnya ide-ide pencerahan tersebut di jam’iyyah ini.  
Sebagai sebuah langkah antisipasi, sekarang dan ke depan, harusnya kita tidak lagi berkutat dengan “liar” dan “tidak liar”. Selayaknya kita mempersiapkan diri untuk 30 sampai 50 tahun ke depan. Di benak NU mudalah imajinasi NU ke depan tergambarkan. Muda dari segi usia dan “muda” dari segi pemikiran tentunya. Bukan berarti pula harus menempatkan NU muda di pucuk pimpinan NU, bukan! Melainkan mengakomodir dan memberi ruang gerak yang cukup untuk mereka demi terciptanya iklim perubahan dan stabilitas organisasi. Apakah terkesan tendensius dan dipaksakan? tidak! Kaderisasi adalah suatu keniscayaan. Yang menjadi persoalan hanyalah “kelemahan sistemik” yang terkadang menomorduakan kaderisasi.
Pada akhirnya, meskipun tidak secara instant, sindrom-sindrom kekalahan tadi akan menjauh dari NU. Masa depan jam’iyyah pun tidak hanya berpusat pada penambahan kuantitas massa, namun juga kualitas dan daya saing massa tersebut dalam konteks keIndonesiaan. Semoga!(iftahrisal)







0 Response to "NU Muda vs Sindrom Kekalahan"

Posting Komentar