Dwifungsi Komik



Ketertarikan manusia akan sastra berlangsung dari masa ke masa. Sastra sebagai ekspresi kehidupan tidak akan pernah punah. Sastra sebagai salah satu kebutuhan umat manusia akan terus berkembang dengan berbagai model dan bentuknya. Termasuk kategori sastra yang populer di masa modern ini adalah komik. Kegandrungan masyarakat terhadap komik, khususnya anak-anak menggambarkan bagaimana jenis sastra yang satu ini seakan mampu mengobati dahaga imajinasi pembacanya.





Berbicara menegenai komik, Jepang adalah salah satu negara dengan perkembangan komik yang mengagumkan. Komik-komik asal negeri “matahari  terbit”  tersebut  sangatlah mudah ditemui di toko-toko buku dan komik di Indonesia. Hal itu barangkali disebabkan karena Jepang memandang komik sebagai sesuatu yang positif. Komik sering difungsikan sebagai  penyampai ide-ide mereka ke publik secara umum(tidak khusus bagi anak-anak) dengan gaya imajinernya. Komik-komik semacam Detective Conan, One Piece, Crayon Sinchan, Naruto atau Konimitsu jelas sekali bahwa sasaran pasarnya bukanlah anak-anak. Lantas apakah sebenarnya komik merupakan media yang cocok untuk menyampaikan ide-ide besar? Apakah komik relevan untuk media pendidikan publik? Dan sebenarnya  fungsi apa saja yang bisa diperankan  oleh komik ?
Komik Indonesia _berdasarkan berbagai sumber_pernah mengalami masa kejayaan pada era 1968 sampai 70-an dan mulai surut kembali di awal 80-an. Adalah membanjirnya komik-komik asal Amerika dan Jepang yang membuat publik Indonesia (kebanyakan anak-anak) untuk meninggalkan komik Indonesia. Komik-komik impor tersebut dianggap lebih kreatif, baik dari segi gambar, tema, maupun alur cerita(Antara, 2008). Selanjutnya, para komikus seperti kehilangan kepercayaan diri dan lebih asik berkutat dengan profesi lain seperti desainer grafis, animator iklan, dan sebagainya.  Persoalan semakin kompleks, ketika komik dianggap sebagai produk budaya yang tidak bernilai. Orang tua masih menganggap komik hanya berisi bualan tak berarti dan hanya berisi khayalan-khayalan kosong yang menghambat pendidikan anak. Komik hanya diidentifikasi sebagai sampah khayalan yang harus dijauhkan dari anak-anak(Marcell Boneff, Cerita bergambar Indonesia,1983)
 Persoalan tersebut bisa teratasi apabila mengikuti penalaran berikut. Pertama-tama, komik   merupakan bagian dari sastra. Sastra dalam pengertian umum yang mencakup semua penggambaran akan kehidupan baik positif maupun negatif dengan bentuk dan gaya ungkapan yang indah, serta mengajak emosi, perasaan dan jiwa untk berinteraksi secara bersamaan(Muhadloroh fi Naqd Adabi,2009). Komik sebagai bagian dari sastra jelas sudah bisa memenuhi  hal-hal di atas. Ketertarikan publik  (terutama anak-anak)terhadap komik salah satunya adalah karena daya imajiner komik yang sangat kuat. Hal ini berbeda dengan cerpen, cerbung, roman, maupun novel, karena konsep cerita dari komik bisa divisualisasikan dengan baik sementara yang lain membutuhkan penggambaran subyektif dari pembaca. Artinya, pembaca harus menggambarkan sendiri setting, plot,maupun  tema yang diangkat. Tidak heran apabila anak usia dini lebih menggandrungi komik daripada sastra lain. Anak yang masih terbatas jangkauan imajinasinya membutuhkan sesuatu yang “siap santap” untuk memenuhi kebutuhan imajinasinya, dan _tanpa mengecilkan jenis sastra lain_komik adalah jawabannya. Jadi, sejauh ini, komik adalah ibarat taman bermain bagi anak-anak. Sejauh anak-anak dibolehkan bermain, sejauh itu pula tidak perlu dikhawatirkan  apabila mereka gemar mengkonsumsi komik.
Adapun bagi orang dewasa, yang dianggap sudah keluar dari masa bermainnya masih pantaskah ia hobi membaca komik? Seperti yang sempat saya singgung, apabila anda membaca komik Conan, One Piece, maupun Shinchan, anda akan sadar bahwa sasaran dari komik tersebut jelas bukanlah anak-anak. Anak-anak terlalu rumit untuk memikirkan lika-liku pemecahan kasus Conan. Pun terlalu “jauh” untuk menikmati adegan kekerasan dalam One Piece dan Naruto,  apalagi  melahap gambar-gambar “nakal” khas Crayon Shinchan. Jadi, komik tidaklah selalu identik dengan anak-anak. Komik-komik yang difilmkan pun sama sekali tidak dikhususkan bagi anak-anak. Komik hanyalah satu jenis di antara jenis-jenis sastra lainnya yang secara imajiner menggambarkan berbagai nilai kehidupan, baik positif maupun negatifnya. Meskipun demikian, setiap orang yang melahap komik memiliki cara baca dan cara memaknai yang berbeda. Hal itu tergantung dari daya tangkap akan nilai yang terkandung dalam komik dan tergantung pula pada psikologi pembaca. Pada level inilah, bagi pembaca dari golongan anak-anak, peran orang tua sangat vital. Orang tua harus bisa menggiring anaknya untuk menangkap nilai terbaik dari komik. Hal itu justru lebih strategis daripada melarang anak membaca komik.
Selanjutnya, fungsi komik hendaknya tidak dihentikan di aspek sastra saja, namun lebih dari itu, harus “diseberangkan” ke fungsi positif lain. Daya tarik komik yang luar biasa hendaknya bisa ditangkap oleh para komikus. Komikus, agar tidak terpojok dan dicap sebagai pencetak “sampah khayalan” harus mengambil arah berpikir “Sastra untuk Kehidupan dinamis”( Adab lil Hayat) dan bukannya merasa bak hidup sendirian dan berhak kapan saja  mencetak komik secara sembarangn tanpa sumbangsih moral kepada masyarakat. Bagaimanapun, komik sebagai salah satu jenis sastra mampu menghadirkan nilai-nilai bagi pembacanya, dan bukan terbatas pada kekreatifan cerita atau gambar-gambar keren saja.
Komik juga hendaknya dapat dijadikan alternatif oleh siapa saja yang ingin menyampaiakan ide, gagasan, moral dan bahkan untuk menyampaikan materi-materi pelajaran. Ironisnya, Indonesia masih menganggap komik sebagai sesuatu yang tidak penting. Di Indonesia,misalnya, marak sekali razia di tengah jam pelajaran dengan komik sebagai salah satu target razia. Coba bandingkan dengan negara maju macam Jepang dimana masyarakat, khusunya pemerintah, sadar betul akan daya persuasif komik, sehingga membuat mereka mengemas buku-buku belajaran dalam kemasan komik (Wahono 2006). Masyarakat menyadari betul bahwa kebanyakan pelajar akan bosan dan letih dalam membaca mata pelajaran berupa deretan kalimat. Apalagi apabila “didukung” oleh disfungsi tenaga didik. Muqorror pun sedikit “digeser” dari pendekatan serius-membosankan ke arah santai-serius dalam wujud komik. Sebenarnya, berdasarkan informasi yang saya himpun dari internet, usaha untuk meng”komik”kan buku-buku pelajaran sempat dilakukan di Indonesia, namun terhalang oleh kendala birokrasi.
Berbicara mengenai moral, di Islam sendiri banyak sekali nilai-nilai moral positif yang disampaikan dengan pendekatan sastra. Banyaknya qoshosh atau cerita-cerita umat yang tersebar di tengah-tengah teks al Qur’an yang agung menggambarkan hal itu. Dan jelas sekali titik point dari qoshosh  tadi adalah sebagai ‘ibroh (pelajaran) maupun peringatan bagi pembaca. Sejalan dengan tema, kisah-kisah tersebut jika digambarkan dengan baik dan diikuti dengan pendekatan sastra yang dalam, jelas akan membawa dampak positif bagi pembaca. Dan pendekatan sastra tersebut bisa saja diambil alih oleh komik. Bukanlah komik sudah terbukti banyak digandrungi anak-anak, sedangkan masa kanak-kanak adalah masa yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai kebajikan? Memang saya sering menemukan kisah-kisah Nabi digambarkan lewat cerita singkat bergambar dengan sasaran da’wah anak-anak. Namun, nampaknya kita butuh lebih dari sekedar cerita singkat bergambar. Kita membutuhkan cerita yang lebih komprehensif yang tidak hanya berkutat seputar kemukjizatan dan hal-hal “suci” lainnya.  Kita membutuhkan plot atau alur yang berliku-liku yang memancing rasa penasaran pembaca untuk terus menantikan edisi selanjutnya. Dan itulah keistimewaan komik. Saya kira komikus muslim harus segera memulai proyek ini. Tentu saja kita ingin anak-anak muslim menantikan volume per volume dari komik dengan plot berliku semacam Yusuf atau Musa misalnya, atau komik heroik Ashabul Kahfi, maupun komik modern tentang kecanggihan kerajaan Sulaiman; sebagaimana mereka menantikan setiap edisi dari kisah heroik Monkey D Luffy, Songoku, atau Detective Conan 
(Miftahur Risal)





1 Response to "Dwifungsi Komik"

  1. Anonim Says:
    19 Maret 2010 pukul 14.42

    weiii,,,one piece nya mana ...???

Posting Komentar