Menghindari Bentuk Islam yang Membosankan


Salah seorang pemilik channel hiburan Astro Oasis, Izelan Basar, pernah melontarkan hal yang menarik: "Program agama ibarat cokelat yang asalnya dari choco dan rasanya semua sama. Yang membedakan adalah bahan tambahan seperti kacang atau kismis dan cara pembungkusannya…". Dalam kesempatan yang sama dia menambahkan ‘’Ajaran Islam tidak berubah, tetapi penyampaian serta persembahan ilmu itu yang membedakannya". Demikianlah pendapat Izelan Basar ketika diwawancarai seputar suksesnya program acara keagaamaan di channel yang ia punya. Nampaknya Izelan menyadari akan pentingnya dakwah Islam dan berusaha berpartisipasi aktif sesuai dengan keahliannya dalam majal ini.





Anda tentu juga tidak asing dengan sosok kang Abik yang dengan novelnya berusaha untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses substansialisasi Islam. Mungkin sosok Izelan maupun kang Abik masih kalah cepat dalam menyampaikan nilai Islam dibanding para khotib, muballigh, dai, maupun tokoh-tokoh politik Islam. Namun, "coklat" bermerk Islam yang mereka kemas dengan cara mereka lebih terasa menarik ketimbang "coklat polos" berlabel purifikasi Islam.
Berangkat dari fenomena di ataslah, saya bermaksud menyampaikan uneg-uneg saya seputar bentuk Islam yang segar, tidak basi, dan jauh dari kesan membosankan. Karena menurut saya, hal ini sangatlah penting mengingat Islamisasi harus terus dijalankan. Bagaimana mungkin Islam terus "dipaksa" untuk disebarkan kalau masih dikemas dalam bentuk yang kurang segar?
A. Kajian Islam, kaifa al hal?
Seorang kawan yang sempat menjadi pengurus remaja masjid kampung -atau lebih dikenal dengan kelompok Primus ( Pria Musholla)- pernah bercerita tentang berbagai kegiatan yang mereka selenggarakan. Dia mendapati berbagai kegiatan yang bernafaskan Islam cenderung membosankan dan kurang menyedot animo masyarakat. Saya sendiri menganggap hal itu sebagai hal yang lumrah dan kita harus menerima "pasrah" fenomena ini, mengingat berbagai macam kegiatan Islami yang diselenggarakan di masjid maupun musholla kampung diprioritaskan untuk kaum awam yang dianggap benar-benar "kholiy adz Dzihn" (tanpa maklumat) tentang Islam.
Namun, mulai sekarang hal itu harus segera kita antisipasi, karena "titik bosan" tersebut juga menular ke kajian-kajian keIslaman lainnya. Khutbah jum'at misalnya, yang "khitob"nya lebih plural_baik di pedesaaan maupun di masjid-masjid tengah kota_juga terjebak di kasus yang sama. Tema yang disampaikan hanyalah mengulang-ulang ide lama, mungkin hanya penukilan dalil saja yang dicoba untuk divariasikan. Saya sendiri tidak tahu apakah Islam benar-benar menjunjung tinggi kaidah "nasiru masiro adl dluafa" setinggi-tingginya sehingga harus rela menelantarkan kaum non-dluafa agar mencari nilai Islam sendirian tanpa bimbingan?Wallahu A'lam.
Ternyata persoalan tidak berhenti di sini, realita juga mengatakan bahwa hal tersebut menular ke majlis-majlis yang diklaim sebagai majlis Ilmiah. kajian-kajian keislaman milik rohis, mahasiswa, atau kelompok ilmiah lainnya juga sulit keluar dari fenomena ini. Kesan "Islam menjemukan" semakin ketara apabila disandingkan dan dibandingkan dengan program-program lain semacam bedah film dan novel, "kongkow" santai bersama tokoh terkenal, atau acara-acara yang "ditarik" ke medan ilmiah lainnya.
Menurut saya, ada dua sebab yang menonjol dalam hal ini :
Pertama, Tidak adanya semangat dari masing-masing individu_dalam hal ini umat Islam_untuk diskusi, mengkaji, ataupun meneliti terhadap sesuatu yang bernafaskan Islam. Jadi semua kegiatan dalam bentuk kajian, diskusi, ataupun khutbah dipahami sebagai formalitas belaka, dan asal "menggugurkan kewajiban". Misalnya: tuntutan program kerja sebuah organisasi untuk menyelenggarakan diskusi atau jadwal wajib untuk mengisi kajian, khutbah, dan diskusi yang_sekali lagi_masih dipahami sebagai "menggugurkan kewajiban" belaka. Adapun pemaparan lebih lanjut mengenai point ini, para ahli Ilmu Nafs nampaknya lebih berkompeten untuk memaparkannya karena hal ini berhubungan dengan halah nafsiah, dawafi', maupun hawafiz yang berbeda-beda dari masing-masing individu.
Kedua, Kemasannya yang kurang "segar". Inilah yang saya sebut sebagai bentuk Islam yang membosankan. Solusinya, tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Langkah pertama yang perlu diambil sangatlah sederhana, yaitu : kesadaran. Persoalannya adalah apakah kita sadar bahwa kajian Islam yang selama ini terselenggara cenderung membosankan?
B. Islami dan Non-Islami.
Kabar baik bagi kita, sebagian besar umat muslim menyadari akan hal ini, bahkan sebagian lagi sudah melakukan langkah konkret dengan mengambil jalur alternatif dakwah "non-kajian". Tentu saja alternatif dakwah tersebut ditempuh dalam rangka syiar Islam yang memang harus selalu dikumandangkan. Kedua tokoh yang saya sebut di atas adalah contoh dari sekian banyak "muslim sejati" yang terus mencoba mencari formula dakwah yang jitu untuk menyampaikan nilai-nilai mulia yang terkandung dalam Islam.
Islamisasi yang mungkin terkesan sedikit mandeg di sektor kajian, justru mendapatkan gairah di sektor non-kajian. Artinya, hal-hal yang berada di luar lingkaran "formal-ilmiah" semacam novel, film, buku-buku gaul seperti yang diterbitkan rekan-rekan FLP Indonesia; mampu menyampaikan nilai-nilai Islam ke sendi-sendi kehidupan umat muslim. Dr Abdul Hamid Zantani menyebut metode semacam ini dengan "Manhaj Adabi". Hal ini adalah bentuk alternatif dakwah yang dihiasi dengan "aksesoris komplementer", sehingga mampu tampil dengan wajah yang lebih segar.
Namun, di antara point-point yang patut disyukuri, medan ini juga mendapati problem yang tidak kalah berat dari sekedar problem "membosankan" di atas. Problem baru ini adalah adanya pembagian "area" Islami dan non-Islami. Contohnya bisa anda lihat ketika film "Ayat-Ayat Cinta" kreasi sutradara Hanung beredar di pasaran. Konsumen film dari kalangan "beriman" justru sibuk mengomentari film ini apakah layak diberi label "halal" alias Islami atau tidak, dan justru mengabaikan nilai substansial yang hendak disampaikan film tersebut. Apakah pemberian label Islami benar-benar telah menjadi prioritas kaum muslim sekarang ini? apakah alternatif dakwah semacam ini sudah dianggap sebagai bentuk penyelewengan dari manhaj haq? Apabila anda masih "merestui" penampilan membosankan Islam, jawablah pertanyaan-pertanyaan ini dengan iya. Namun, kalau anda termasuk orang yang sadar akan fenomena ini, marilah kita renungi sejenak paparan berikut ini.
Sebenarnya, Al Qur'an dan sumber-sumber terpercaya Islam lainnya memuat segudang "qoshoh" yang apabila dikemas dengan menarik pastilah dapat menyedot perhatian publik khususnya umat Islam sendiri. Kisah Yusuf yang terkenal sebagai ahsanul qoshoh, kisah Ashabul kahfi, kisah Musa dan Khidir, maupun kisah-kisah heroik Nabi r dan para sahabat sangatlah menarik untuk difilmkan. Ditinjau dari garis besar ceritapun, film-film heroik produksi Hollywood macam Spiderman, Superman, ataupun man-man lainnya masih kalah atraktif dari qoshoh Islam tadi. Namun, saya sendiri pesimis apakah qoshoh kita mampu menandingi pamor Hollywood apabila kita sendiri masih terlalu daqiq dan over protection dalam urusan Islami dan non-Islami.
Ada banyak kasus yang serupa dengan contoh tadi. Misalnya, muncul kasus tentang ESQ yang dinilai kurang Islami oleh sebagian ulama. Di Sahara edisi Maret lalu juga ada opini dari seorang penulis sebuah kolom yang menganggap belajar bersama bukanlah sesuatu yang Islami karena dikategorikan sebagai kholwat. Di media yang sama bulan Januari juga terlontar bahwa penanggalan masehi bukanlah penanggalan yang Islami, sampai teater Drama -yang dipersembahkan anak-anak Indonesia di Mudarroj beberapa bulan lalu- dianggap melanggar kode etik Islami karena menampilkan peran setan yang dianggap tabu untuk diperankan. Fenomena "Islam ketat" inilah yang membuat saya hanya berandai-andai seputar kesuksesan dunia Islam dalam melakukan terobosan dakwah yang lain.
Mungkin terlalu "mewah" apabila dalam artikel ini sudut pandang Fiqih diketengahkan demi menjawab kasus-kasus di atas. Bukankah Islami dan non-Islami adalah pandangan subyektif dari masing-masing bangsa, madzhab, kelompok atau individu. Realitanya memang dari jaman dahulu sampai sekarang sesuatu yang tidak termuat secara langsung dalam "dalil qoth'i" sulit dicapai kata sepakat seputar Islami dan non Islaminya. Bahkan, terkadang istilah Islami tidak serta merta identik dengan Islam itu sendiri. Misalnya, dahulu kalangan pesantren menganggap orang yang tidak memakai sarung dan peci sebagai orang yang kurang mencerminkan kesan Islami. Namun, ketika almarhum Wahid Hasyim menjabat sebagai menteri yang kesehariannya memakai celana dan dasi, persoalan menjadi berubah. Pokok permasalahannya adalah: mengapa kita terlalu dalam terjebak dalam penyematan label Islami ini dan lupa akan substansi Islam itu sendiri?
Tanpa perlu membahasnya lebih dalam, yang perlu kita sadari sekarang adalah bahwa usaha muslim-muslim sejati di atas dalam rangka menyampaikan nilai Islam ala mereka sendiri; patut kita beri applaus. Usaha "pengemasan" Islam yang mereka lakukan adalah suatu kontribusi positif bagi dakwah Islam. Mereka -sebagaimana sebagian kita- adalah orang-orang yang sadar akan kemandegan dakwah Islam berikut sisi "boring"nya; dengan mencoba mencari formula jitu dalam berdakwah dan dosis yang tepat untuk para mad'u. Wallahu A'lam
(iftahrisal) 

- bloge aad -

0 Response to "Menghindari Bentuk Islam yang Membosankan"

Posting Komentar